ABIMANYU GUGUR (Scene Haru Biru dalam Riuhnya BHARATAYUDHA)
PERANG
saudara itu masih saja berkobar, melibas ratusan bahkan ribuan nyawa.
Bangkai gajah, bangkai kuda, kereta perang dan patahan senjata,
tersembul di sana-sini bercampur jenazah kedua pasukan, di tengah rawa
darah, padang Kurusetra. Pesta
para burung bangkai! Ulat-ulat menari girang, mendapatkan makanan
melimpah ruah. Kepulan asap dupa dan kemenyan membubung melingkupi
langit, seakan mengantarkan para arwah yang dipaksa meninggalkan
jasadnya.
Pandawa
dan Kurawa seakan bermain catur. Satu demi satu para senapati di
masing-masing pihak mati di tangan lawan. Panglima Seta, dan kedua
adiknya Utara dan Wratsangka, gugur membela Pandawa; sementara Bisma
sebagai Panglima Kurawa mendengungkan terompet kemenangan. Pada hari
berikutnya, Srikandi maju membela Pandawa, menggantikan Seta dan
berhasil menewaskan Panglima Bisma.Begitu Bisma gugur, kedua belah pihak
merasa terpukul. Bisma adalah kakek mereka. Bisma adalah guru mereka.
Bisma adalah junjungan mereka. Namun perang adalah perang, yang ada
hanyalah kalah atau menang. Percuma saja isak tangis tertumpah, jika
pada akhirnya melahirkan amarah.
Perang
adalah hidup atau mati. Itulah yang dibisikkan Kresna kepada Arjuna.
Arjuna gelisah. Tak mungkin dia harus membunuh orang-orang yang masih
berkaitan darah dengannya. Mustahil dia berhadapan dengan guru dan
junjungannya. Bisma dan Dorna adalah dua orang yang memberinya bekal
hidup dalam menempuh jalan sebagai seorang ksatria.Maka majulah
Abimanyu, anak kesayangan Arjuna. Muda usianya, belum lagi 20 tahun
ketika itu. Di atas kereta perangnya, Abimanyu membelah pasukan Kurawa.
Kelebatan tangannya mematahkan serangan, sekaligus merenggut nyawa siapa
pun yang mengadang, membuat Abimanyu dan kereta perangnya seakan
putaran pedang yang menumpas habis apa saja. Kendali kereta berada di
tangan Sumitro, saudara seayah Abimanyu. Di tangannya, kereta perang
bagai rajawali yang melayang rendah dan menyambar ganas.
Pasukan
Kurawa seperti ilalang yang bertumbangan ditebas bilah pisau raksasa;
mati merana untuk sesuatu yang belum tentu mereka pahami benar.Hari itu,
ketika terompet mengalun di bukit-bukit Kurusetra, bendera-bendera
Pandawa berkibaran menantang langit. Megah, ditiup angin utara yang
membawa kemenangan. Abimanyu dipanggul sebagai pahlawan.Dorna, resi tua
renta, guru Pandawa dan Kurawa, hari itu menggenggam gendewanya.
Serangan Abimanyu harus dipatahkan.
Gelar
perang pun diubah. Strategi harus diambil untuk menghabiskan tenaga
Abimanyu yang luar biasa. Ketika genderang perang dipukul bertalu-talu,
mengiringi langkah tegap para prajurit ke medan laga, Dorna sigap di
atas kereta perangnya.Ringkik kuda-kuda yang menarik kereta perang
Abimanyu, sayup-sayup terbawa angin. Debu mengepul, melatari sorak-sorai
manusia yang haus darah. Sesaat Dorna menahan nafas. Ada sebersit
perasaan aneh dalam menghadapi Abimanyu. Belum lagi 20 tahun usianya,
dan harus berhadapan dengan guru perang yang sudah sangat kenyang makan
asam-garam kehidupan. Jika menang melawan Abimanyu, dunia tak akan
heran, namun jika kalah... akan di kemanakan wajah tua yang diagungkan
orang ini?Apalagi ketika bocah itu lahir,
Dornalah
yang pertama kali mendapat izin menggendongnya, karena Arjuna -ayah
Abimanyu- begitu hormat kepadanya. Kini, beberapa saat lagi, dia harus
membunuh cucu yang disayanginya. Anak kecil yang pernah ngompol
membasahi jubahnya, dan itu membuat Dorna terbahak-bahak hingga
meneteskan air mata bahagia, kehidupannya akan musnah di tangan
Dorna.Mata Dorna berkaca-kaca membayangkan kilasan masa lalu anak muda
yang sebentar lagi mati di tangannya.
Tiba-tiba,
seekor kuda putih melintas di hadapannya. Semula dia berpikir, kuda itu
hanyalah kuda perang milik orang lain yang memang menjadi kendaraan
perang. Namun, ketika kuda itu berhenti dan menatapnya lurus-lurus,
tahulah Dorna bahwa itu adalah aura Dewi Wilutomo, bidadari yang dikutuk
menjadi kuda, istrinya, yang kini telah tiada."Kau akan membunuh anak
muda itu?" tanya kuda itu dalam suara yang hanya dipahami Dorna. Angin
membelai lembut alis Dorna yang memutih di sana-sini."Ini perang,
istriku.""Kau akan membunuh anak muda itu?" ulang Wilutomo tenang."Apa
boleh buat..." jawab Dorna sambil mendesah."Berarti kau sekaligus akan
membunuh ayahnya..."Dorna terdiam. Keteguhannya mulai goyah."Berarti kau
juga akan membunuh anaknya...""Apa maksudmu?""Istri Abimanyu tengah
mengandung. Bayi itu akan lahir tanpa mengenal ayahnya, jika panahmu
menghisap nyawa Abimanyu..."Lama Dorna terdiam. Entah apa yang
berkecamuk dalam hatinya. Matanya setengah terpejam, kumis dan
janggutnya dibelai angin, lembut bergoyang-goyang.Tak lama kemudian,
"Ini perang, Wilutomo. Ini perang..." lalu memacu kudanya, yang segera
menarik kereta, maju mengadang lawan.
Perang
pecah. Langit dipenuhi anak panah. Menghunjam ke bumi dan menciptakan
tumpukan jenazah. Dorna membabi buta menghamburkan anak-anak panahnya.
Namun, sulit sekali mendekati kereta perang Abimanyu. Diperintahkannya
Jayadrata memancing Abimanyu agar mendekati wilayah Dorna.Sumitro tewas,
namun kekang tak pernah lepas dari tangannya. Abimanyu segera menaiki
Pramugari, kuda setianya yang sehati dengan tuannya. Pramugari bagai
harimau lapar, melompat dan menendang lawan. Dengan gesit dia melompat,
lalu berdiri menyongklang, mendepak lawan di depan. Kemudian
menyentakkan kaki belakang menghantam manusia yang di belakangnya.
"Manakah
Dorna, guru tua yang tak tahu diri itu?" tantang Abimanyu di sela-sela
riuh rendahnya pertempuran.Dorna melepaskan panahnya, tepat mengenai
jantung Pramugari. Kuda itu meringkik dan tersungkur mencium bumi.
Abimanyu melompat turun dan dengan pedangnya, dia mulai membabat lawan.
Tubuhnya seakan kebal, tak satu pucuk pun senjata mampu melukai kulitnya
yang halus. Dorna tanggap, tali pengikat tempat anak panah itulah
kelemahan Abimanyu. Oh, begitu mudah membunuhmu Abimanyu, tetapi mengapa
kepiluan kian menggigitku, manakala kurentang gondewa ini kepadamu?
Sekejap,
anak panah itu lepas, menebas tali pengikat...maka Abimanyu pun lumpuh
bagai karung goni yang kosong. Segera tubuhnya terajam anak
panah.Abimanyu, Abimanyu.. bagai landak tubuhmu, merangkak hina-lata
tanpa rintihan. Telah kau kenyamkah kenikmatan hidup sebagai lelaki?
Telah kau cicipikah kemuliaan hidupmu? Mengapa kau berakhir dengan tubuh
nyaris hancur dirajam panah?
Dorna
berbalik, menatap punggung bukit yang tergoresi warna merah senjakala.
Tak dihiraukannya sorak-sorai itu. Jiwanya begitu sunyi. Kosong,
melayang dia di atas kereta perang, mengutuki sebuah perbuatan yang
hanya karena terbakar nafsu, melumatkan segalanya. "Kau akan membunuh
ayahnya..." ucapan Wilutomo mengiang di telinganya. "Untuk apakah semua
ini, suamiku?" bisikan pertanyaan Wilutomo kembali mengiang di telinga
Dorna. "Aku minta jawaban yang jujur darimu, karena kau adalah guru
kedua belah pihak yang bermusuhan..."Dorna terdiam. "Bukankah ini semua
karena keangkuhan orang-orang sepertimu, yang mengatasnamakan harga
diri, lalu dengan mudah mencabut pedang?""Kau tahu apa soal perang?
Akulah guru perang. Akulah yang paling tahu, bahwa peperangan memang
diperlukan.""Siapakah yang memerlukan peperangan?""Bumi ini!""Aku tidak
mengerti?""Bumi membutuhkan siraman darah untuk menyuburkan dirinya..
dan itu untuk menumbuhkan kehidupan baru...""Maafkan aku, bila kepalaku
hanya berisi kebodohan. Sebagai orang bijak, maukah kau menjelaskannya
dengan bahasa yang bisa kupahami?"
Dorna
terdiam lagi. Dan terdiam untuk waktu yang lama.Tak ada jawaban, karena
berarti akan ada dusta baru lagi. Kematian Abimanyu membuat Arjuna tak
terbendung. Meskipun putra mahkota kaum Kurawa, Raden Lesmana, juga mati
di tangan Abimanyu, itu tak cukup bagi Arjuna. Di lain pihak Prabu
Duryudana, raja kaum Kurawa, menjadi naik pitam. Hukum peperangan pun
dilanggar.
Kematian
kian menderas membasahi bumi yang seolah tersenyum menerima tubuh-tubuh
bergelimpangan.Gatotkaca mati di tangan Adipati Karna. Lalu entah siapa
lagi dan siapa lagi. Karna mati di tangan Arjuna. Dorna kian tua
menatap semuanya. Dia mencoba menata jiwanya. Maka medan perang pun
terobrak-abrik oleh amukan resi tua yang dahsyat itu. Pedangnya,
panahnya, semuanya meminta nyawa. Sementara tubuh renta yang seolah
hanya tulang terbalut kulit itu, seakan tak terjamah senjata. Panah
seakan kuntum mawar yang dilontarkan penari cantik, bagi Dorna. Arjuna
enggan melawan gurunya.
Bima
hanya menggeram, dan agaknya masih larut dalam kepedihan atas kepergian
anaknya.Tak ada lain, hanya Yudistira yang harus menghadapinya."Hanya
Yudistira yang mampu menaklukkan Resi Dorna..." ucap Kresna ketika
mengatur siasat perang. Karena tak ada pertanyaan, Kresna pun
melanjutkan, "... karena hanya Yudistira yang akan didengar pendapatnya
oleh Dorna... Tenda
kian mencekam, karena tak seorang pun mengerti maksud Kresna. Lelaki
berkulit hitam dan selalu tersenyum memandang masa depan itu, kemudian
menjelaskan strateginya kepada Pandawa. "Dorna akan lebih paham apa yang
diucapkan Wilutomo.. ya, dia akan benar-benar paham arti ucapan
itu...," tambah Kresna sambil menatap suatu tempat nun jauh entah di
mana.
Pedang
berkelebat, darah membesut membasahi bumi. Teriakan dan lolongan
bersahutan dan di langit ratusan burung bangkai melayang-layang
berkaok-kaok siap berpesta pora. Resi Dorna menumbangkan kehidupan, dia
mengamuk seakan mencari kematiannya sendiri. Anehnya, saat itu, kematian
justru terbirit-birit dikejar kelebatan pedang Dorna. Angin berkhianat,
mengapa pula membawa nama itu "Aswatama mati...!" Nama itu, nama
anaknya, yang juga berperang di sisi lain medan pertempuran.
Di selatan angin membawa nama itu sampai di telinganya. Kemudian
dari barat, angin pun membawa berita itu kepadanya. Dorna seperti
lumpuh. Namun, tangannya masih haus darah."Yudistiraaa... di mana kau?"
teriaknya lantang.Kereta perangnya terhenti, tepat di depan kereta
perang Yudistira. Di hadapan Yudistira, Dorna seakan menyaksikan alam
yang begitu permai, sejuk dan mendamaikan hatinya. Perlahan
Dorna turun dari kereta, demikian pula Yudistira yang maju tanpa
menggunakan senjata. Dorna pun membuang pedangnya ke tanah, mereka
saling mendekat.
Dorna
memeluk raja yang terkenal jujur dan bijaksana itu."Benarkah Aswatama
mati?" bisiknya dengan suara parau.Yudistira memeluknya erat, terdiam
beberapa saat."Katakan padaku, wahai Yudistira. Katakan, wahai
kejujuran, katakan bahwa benar Aswatama, anakku telah mati.""Benar.
Aswatama telah mati," jawab Yudistira pendek. Langit gelap oleh duka
cita. Dorna gemetar melepas pelukannya. Matanya basah menatap Yudistira.
Yudistira menunduk. Bibirnya gemetar."Mengapa guruku menangisi
kematian? Bukankah guru mengajarkan kepada kami bahwa setiap nyawa yang
mati di medan laga adalah sekuntum kemuliaan bagi alam..." ucap
Yudistira seolah tertelan keriuhan sorak-sorai pembantaian manusia.
Air
mata Dorna menderas. Tubuhnya seakan melayang tak menapak bumi. Dia
undur beberapa langkah menjauhi Yudistira. "Kaulah kejujuran itu,
Yudistira. Hanya kaulah yang kupercaya. Bukan kematian Aswatama yang
kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan, yang kusesali. Apa
lagi yang akan kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah
melahirkan dusta? Oh, Yudistira, Yudistira.. tak ada lagi yang bisa
kupercaya. Dunia pun bahkan tak punya pegangan lagi dalam berputar,
karena kejujuran telah mendustainya."Senja merah tutun menyelimuti
jenazah mahaguru Dorna. Tak satu pun bibir mampu berucap. Hanya dupa
mengiringkan kepergiannya menuju alam kebebasan yang sejati. Senja itu,
sesuatu telah terjadi dan tak akan pernah bisa diperbaiki.
0 comments:
Post a Comment