Blogger templates

Sunday, December 9, 2012

SEKOLAH DALANG HABIRANDHA Yogyakarta (Sekolah langka Seni Budaya di Indonesia)

Sangat jarang sekolah yang berlatar belakang seni budaya nusantara seperti SEKOLAH DALANG HABIRANDHA Yogyakarta. Tapi sayang sekolah non formal yang langka ini belum termasuk sebagai sekolah yang mendapat perlindungan dan fasilitas dari pemerintah RI. Sehingga untuk keberadaan dan eksistensi sekolah tersebut sangat terbatas. Yakni hanya mengandalkan uang pembayaran dari siswa sebesar Rp. 20.000/ bulan dan juga bantuan dari Kraton Yogyakarta.


Sekolah ini berlokasi tidak jauh dari lingkungan keraton Yogyakarta yakni di Jalan Rotowijayan No. 1 Yogyakarta sejalan dengan arah ke Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Keberadaan Sekolah dalang ini berdiri tahun 1925 atas inisistif Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Djadjadipoera dan mendapat dukungan penuh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII waktu itu. 
Awalnya sekolah Habirandha ini bernama Pawiyatan Pedhalangan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Habirandha. Tujuan pendirian sekolah ini adalah untuk menjaga seni pertunjukan wayang dari kepunahan dan dipegang hingga saat ini secara konsisten untuk dicapai. Pada pembelajaran tingkat pertama para siswa yakni mayang atau memainkan wayang, namun seiring perkembangan ditambah dengan materi lain yang meliputi teknik teknik dasar pedalangan. Materi tersebut antara lain Cepengan atau metode memegang wayang kulit, sabetan yakni tekni manipulasi yang biasanya dilakukan dalam adegan perang. Janturan, Kandha carita atau narasi, pocapan atau dialog, suluk sekar atau menembang, dhodogan, keprakan, gendhing atau melodi gamelan dan pakeliran yakni penataan panggung. 


Nama HABIRANDA merupakan singkatan dari HAMURWANI BIWARA RANCANGAN DALANG yang kurang lebih berarti PINTU PERTAMA UNTUK MENYUSUN ATAU MEMBENTUK MENJADI DALANG. Dibuka awal hanya untuk para anak anak dalang namun kemudian dibuka untuk umum. Pelatihan pertama dibuka 27 juli 1925 dengan KRT Djajadipura sebagai direktur merangkap Guru pengetahuan atau kawruh pedalangan umum, Raden Wedana Prawirodipuro sebagai guru sejarah pedalangan, Raden Tumenggung Madubranta sebagai guru sulukan dan RB. Cermawicara sebagai guru Pakeliran. 
Para guru di sekolah ini benar benar mengabdikan diri bagi pelestarian kebudayaan bukan untuk mengejar tujuan profesional dan kepuasan materi semata. Bahkan para guru ini hanya di gaji Rp. 12.000 hingga Rp. 15.000 per bulan. Meskipun tertatih tatih dalam perjalanan perkembangan sekolah Habirandha ini mampu menelurkan beberapa lulusan yang berprofesi dalang dan juga praktisi budaya. Seperti Dalang Ki Timbul Hadiprayitno dan Ki Anom Suroto, Prof. Roger Long peneliti budaya dari University of Hawaii, Amerika Serikat, Prof. Soeripto ahli onkologi dari Universitas Gajahmada dan Suyono Dosen UGM

0 comments:

Post a Comment